BAB 2/3
SEJARAH EKONOMI INDONESIA
6.
Cita-cita
Ekonomi Merdeka
Cita-cita perekonomian kita tidak
menghendaki ketimpangan. Para pendiri bangsa kita tidak menginginkan penumpukan
kemakmuran di tangan segelintir orang tetapi pemelaratan mayoritas rakyat.
Tegasnya, cita-cita perekonomian kita menghendaki kemakmuran seluruh rakyat.
Supaya cita-cita perekonomian itu
tetap menjiwai proses penyelenggaran negara, maka para pendiri bangsa sepakat
memahatkannya dalam buku Konstitusi Negara kita: Pasal 33 UUD 1945. Dengan
demikian, Pasal 33 UUD 1945 merupakan sendi utama bagi pelaksanaan politik
perekonomian dan politik sosial Republik Indonesia.
Dalam pasal 33 UUD 1945, ada empat
kunci perekonomian untuk memastikan kemakmuran bersama itu bisa tercapai.
Pertama, adanya keharusan bagi peran negara yang bersifat aktif dan efektif.
Kedua, adanya keharusan penyusunan rencana ekonomi (ekonomi terencana). Ketiga, adanya
penegasan soal prinsip demokrasi ekonomi, yakni pengakuan terhadap sistem
ekonomi sebagai usaha bersama (kolektivisme).
Dan keempat, adanya penegasan bahwa muara dari semua aktivitas ekonomi,
termasuk pelibatan sektor swasta, haruslah pada “sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”.
Sayang, sejak orde baru hingga
sekarang ini (dengan pengecualian di era Gus Dur), proses penyelenggaran negara
sangat jauh politik perekonomian ala pasal 33 UUD 1945. Pada masa orde
baru, sistem perekonomian kebanyakan didikte oleh kapital asing melalui
kelompok ekonom yang dijuluki “Mafia Barkeley”. Lalu, pada masa pasca reformasi
ini, sistem perekonomian kebanyakan didikte secara langsung oleh
lembaga-lembaga asing, seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO.
Akibatnya, cita-cita perekonomian
sesuai amanat Proklamasi Kemerdekaan pun kandas. Bukannya melikuidasi sisa-sisa
ekonomi kolonial, tetapi malah mengekal-kannya,
yang ditandai oleh menguatnya dominasi kapital asing, politik upah murah,
ketergantungan pada impor, dan kecanduan mengekspor bahan mentah ke
negeri-negeri kapitalis maju.
Ketimpangan ekonomi kian menganga.
Kemiskinan dan pengangguran terus melonjak naik. Mayoritas rakyat (75%) bekerja
di sektor informal, tanpa perlindungan hukum dan jaminan sosial. Sementara
puluhan juta lainnya menjadi “kuli” di negara-negara lain.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar